Sekejap bersama Guru Sejati, Penuturan seseorang saat usia pernikahannya genap tiga bulan

Pertemuanku dengan engkau begitu singkat. Namun, waktu singkat tak membuat kehilangan makna. Justeru kata "singkat" melebihi batas waktu yang tak kunjung habis. Pertama kali aku bertemu dengan engkau, saat aku berniat mempersunting gadis anggun berjilbab lebar. Ya gadis itu, yang sekarang jadi isteriku adalah putrimu. Entah kenapa engkau langsung respek dan kagum padaku. "Anak ini memang beda!" ucapmu saat itu.

Selidik punya selidik, ternyata engkau kagum atas keberanianku. Diusiaku yang masih terbilang muda, penghasilan belum ada, status masih mahasiswa, sungguh tak terduga. Engkau ternyata melihat kesungguhanku. Engkau salut atas kejujuranku. Engkau berdecak kagum atas kepolosanku. Engkau langsung jatuh hati. Tersentuh, terenyuh dan tanpa melihat kondisiku –yang oleh sebagian orang tua jauh dari harapan—saat itu, engkau langsung oke, bahkan memberi suport penuh.

Padahal, seandainya saat itu engkau keberatan aku telah siap. Saya sadar, betapa tidak layak. Betapa tak tahu diri. Betapa ngelunjak. Betapa... betapa... dan seterusnya. Ah memang engkau orang tua maha bijaksana. Cukup sulit untuk ukuran zaman sekarang menemukan orang tua seperti engkau. Kasih dan cintamu memang tulus. Ya, ketulusan itu sebuah awal. Awal saya belajar banyak hal darimu. Pelajaran yang tidak saya dapatkan di bangku kuliah. Pelajaran yang tidak saya dapatkan di kitab-kitab klasik, kontemporer sekalipun. Pelajaran yang tidak saya dapatkan dari guru manapun. Ya, pelajaran hidup.

Engkau mencurahkan ilmu dengan tulus. Tanpa pamrih. Engkau mengajariku atas dasar cinta. Engkau memapahku dengan kasih dan sayang. Ya, aku merasakan hal itu. Betapa engkau memperhatikan segalanya.
  
Falsafah hidup. Makna kerja keras. Kreatifitas. Penolong. Ya, semuanya engkau terapkan dalam kehidupanmu. Keluarga pun ikut menyerap 'materi kuliahmu', termasuk aku tentunya. Tanpa microphone, tanpa papan tulis. Tanpa proyektor, tanpa kertas. Tanpa kurikulum, tanpa diktat-diktat tebal (seperti kebanyakan sekarang). Ya, tanpa semua itu. Engkau telah berhasil dan sukses. Murid-muridmu (termasuk aku) kini semakin dewasa dalam berpikir, berkreatifitas, berusaha hidup mandiri, membiasakan menolong sesama --terutama keluarga--    dan gigih, tekun serta ulet dalam bekerja.
  
Namamu akan saya ukir dalam relung-relung kehidupan. Ajaranmu akan saya abadikan dalam lembar-lembar perjuangan. Keteladananmu turut mewarnai derap langkahku. Ketegasanmu dalam menentukan pilihan-pilihan hidup merupakan anugerah dalam hidupku. Cara berpikirmu akan saya jadikan referensi berharga. Ya, saya telah merengkuhnya dalam waktu sekejap. Begitu besar anugerah-Mu, ya Rob!***

Comments

Popular posts from this blog

Menyambut Si Lembut nan Jelita

Modul Jurnalistik: Mulai Menerjemah

Modul Jurnalistik: Prinsip Bahasa Jurnalistik