Menyambut Si Lembut nan Jelita

"Maafkan Umi..." kata itulah yang meyapa relung hatiku, saat engkau tengah berjihad. Ya tentu saja jihad, seorang ibu saat di ruang bersalin. Perjuangan yang hanya di rasakan oleh mereka yang telah mengalami, bahkan berkali-kali mengalami.

Kita, kaum Adam hanya menyaksikan, bagaimana rintihan, jerit histeria dan berjuta tasbih, istighfar serta Asma Allah membasahi lisan-lisan mereka.

Padahal ini kali ketiga, sang permaisuri menempuh jalan persalinan. Namun bagi saya, justeru ini adalah pertama kali, The First One. Karena dua sebelumnya Allah menakdirkan, saya berada di tempat lain.

Memang dari yang pertama, hingga yang ketiga sekarang semuanya dengan nafas dan cerita yang berbeda. Yang pertama, hampir saja sang isteri depresi, karena tiga hari di Ibrahim Malik Hospital Khartoum terasa, tiga tahun atau bahkan tiga abad. Menanti, menanti dan terus menanti yang pada akhirnya dokter menyarankan untuk di induksi (waja' shina'i).

Saat itu saya hanya berdoa, dengan iringan ayat-ayat suci, tak putus dari mulai proses induksi sekitak bakda maghrib hingga akhirnya buah hati yang dinanti menatap bumi tepat jam 01.15.

Anak kami yang kedua, berjalan dengan lancar. Proses persalinan hanya selang satu jam. Pukul 13.00 tiba di RS Ibrahim Malik, pukul 14.00 kemudian terlahir si kecil menyapa dunia.

Saat itu, justeru saya berada di RS lain, karena Allah menakdirkan ujian dan cobaan bagi saya. Saya menjalani perawatan di RS, kaki kiri retak dan akhirnya di Gips. Dapat kabar, lahirnya putra kami yang kedua hanya via sms. Saya tiba di rumah, dan beberapa saat kemudian isteripun tiba.

Haru, syahdu, rindu dan syukur terus kami lantunkan saat itu. Allah teramat menyayangi hambanya, yang senantiasa sabar, syukur dan tawakal terhadap ujian-ujian yang menimpanya.

Putri kami yang ketiga, sungguh membuat dagdigdug. Bukan karena sering mendengar suara bedug, namun mulai usianya 7 bulan dokter, bidan, dll terus memberi prediksi-prediksi yang membuat hati kami ciut. Bayinya kecil, sungsang, kurang gizi, ibunya kurang makan, dan komentar-komentar lain yang menjadi santapan hari-hari dimana kami mesti menanti.

Alhamdulillah ditengah gersang, dan panasnya suhu selalu ada oase, embun penyejuk, ketulusan nurani dan hamparan syukur. Mereka senantiasa menyemangati kami, memberi nasihat-nasihat dan tentunya sangat-sangat kami perlukan dalam kondsi saat itu.

Tepat pukul 04.00 dini hari (20/4/11), saya mendapat sms,
"Abi Qiyam berdoa, minta yang terbaik, umi sekarang lagi di bidang, baru pembukaan dua."

Deg, jantung terasa kencang berpacu. Langsung kuraih hp biru itu, tombol mencari-cari, ya nama itu akhirnya nampak dan di ujung sana suara yang tak asing lagi agak meringis kesakitan.

"Abi, gak usah ke sini, nanti aja sudah lahiran."
"Insya Allah Abi akan datang, masih keburu kan!"
"Iya kata bidan, paling nanti jam 08.00"
"Ya, kalo begitu, Abi shalat subuh dulu"

Baksa shubuh ku pacu Honda hitam, menembus dinginnya udara, Subang, Ciater, Tangkubanperahu, Lembang, Setia Budi, Soekarno Hatta hingga akhirnya tiba di Soreang tepat pukul 07.30.

"Alah gening, si Abi, jam berapa dari Subang?" tanya Mamah, begitu Ibu Mertuaku biasa di panggil.
"Jam 05.30" jawabku singkat.

Selama di bidan, tepatnya klinik yang terbilang lengkap peralatannya ini, saya hanya berdzikir dan berdoa semoga proses persalinan ini berjalan lancar. Ibu dan bayinya selamat.

Bidan sudah angkat tangan, karena posisi bayi sungsang. Kata-kata operasi sesar terasa palu godam meninju batang hitung. Ya itulah kata terakir yang saya dengar, saat berbincang dengan Mamah.

Tapi, Mamah tetap menyarankan usahkan normal dulu, operasi nanti dulu, itu jalan terakhir. Akhir suasana, dokter Spesialis tiba sekitar jam 08.00.

Permaisuri, berulang ulang mengucapkan,
"Maafkan Umi... maafkan Umi... maafkan Umi...."
"Dede, ayo bantu Umi nak, bantu Umi nak ..."
"Astaghfirullah, subhanallah, ...."

Saya hanya terteguh, mulut sejak tadi telah basah dengan lafaz tasbih... "hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man nashir"

Tangan lemah ini sambil terus mengelus-mengelus perut, optimis, roja, harap, semoga pertolongan Allah, takdir, serta inayah-Nya menjadi bagian tak terlupakan, dan terus dan terus.

Alhamdulillah Hilmina Abqoruna Gozali terlahir ke bumi, dipagi yang berseri, bersyukur pada Ilahi Robi. Saya langsung tersungkur, bersujud, tak terasa linangan air mata bahagia menitik. Kumandang adzan melantun merdu, menyambut si lembut nan jelita (Hilmina Abqaruna). Ya Rob, semoga kami bisa mengemban amanah nan mulia ini. amien

Comments

Popular posts from this blog

Modul Jurnalistik: Mulai Menerjemah

Modul Jurnalistik: Prinsip Bahasa Jurnalistik