Pilihan Itu

Setiap kita kerap mengalami sebuah situasi dimana kita harus memilih. Ya, memilih sebuah pilihan. Saya, Anda atau mereka dalam situasi tertentu mesti memilih. Pilihan itu kadang sulit, kadang mudah bahkan kita begitu tidak berdaya dengan pilihan yang ada. Mereka yang berhasil memilih pilihan-pilihan itu adalah orang-orang sukses. Mereka yang tidak berhasil bahkan binggung menentukan pilihan adalah para pecundang atau pengecut. Karena disetiap pilihan ada sebuah keberanian. Setiap menentukan dan memilih sesuatu ada suatu kesuksesan. Setiap saya, Anda atau mereka memilih sebuah jalan ada tujuan atau target tertentu yang hendak dicapai. Bila keadaanya demikian tangga-tangga peradaban sedang kita jelajahi setapak demi setapak.

Sahabat dekat saya hingga kini belum bisa memilih antara S2 dan menikah. Keinginan keluarga besarnya agar melanjutkan S2 seolah benteng perkasa tiada tara. Ia sendiri punya prinsip, tidak ingin merepotkan orang tua. Biaya S2 di Indonesia sungguh fantastis. Bahkan ada seorang alumni Al-Azhar Kairo sempat nyeletuk, S2 di Indonesia gak ada ilmunya, yang ada hanya bisnis (biayanya fantastis .pent). Perkataannya bukan isapan jempol, sebab ia alami sendiri dengan mengambil pascasarjana di UI. Perkataan itu ia ungkapkan setelah lulus. Ya, ungkapan yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam. Pengakuan dia menurut saya sah-sah saja. Memang itulah yang ia alami sendiri.
 
Diusianya yang semakin lanjut (27) ia masih terpasung dengan dua pilihan tersebut. Ia sebenarnya menurut saya telah mapan. Disamping seorang penulis yang setia menghiasi berbagai media lokal maupun nasional, ia juga seorang guru di sebuah pesantren di kota Bandung. Maklum lulusan terbaik UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) ini sangat concern terhadap dunia pendidikan. Artinya dari segi finansial sudah lebih dari cukup. Namun itulah, sampai kini ia belum berhasil menerobos tembok kokoh bernama "Keluarga Besar".

Itulah pilihan. Perlu keberanian, cepat bertindak dan respek terhadap situasi dan kondisi yang ada. Bila demikian adanya kita akan selalu terpacu bahwa waktu akan terus belalu, ia tidak akan menunggu. Teman dekat saya di kota Bekasi pernah mengadu. Himpitan ekonomi keluarga membuat ia terkadang kurang berani menatap masa depan. Meski demikian atas usaha sendiri ia berhasil merampungkan S1 di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Bila saya amati, ternyata ia begitu respek dan cepat bertindak dengan situasi dan kondisi yang ada. Akhirnya, seiring dengan waktu keberaniannya muncul. Keberaniannya menentukan sikap melebihi para pemberani sebelumnya yang ada disekitarnya.
 
Agaknya pengal demi penggal sisi hidup kemanusiaan tidak pernah sepi dari pilihan-pilihan. Tentunya satu sama lain pernah menghadapi pilihan-pilihan berbeda. Ya, tentu saja. Setiap kita telah ditakdirkan dengan jalan dan corak masing-masing. Saya pun demikian, meski masih kuliah saya telah ditakdirkan mempunyai pendamping hidup penyabar, penuh kasih dan sayang. Itulah pilihan hidup yang telah diatur oleh-Nya.

Comments

Popular posts from this blog

Menyambut Si Lembut nan Jelita

Modul Jurnalistik: Mulai Menerjemah

Modul Jurnalistik: Prinsip Bahasa Jurnalistik