Sebuah Keberanian, Penuturan Seorang Sahabat di Bandung

Sebuah keputusan yang amat berani saya ambil. Ya, sangat berani! Disaat orang-orang maju mundur. Disaat nalar susah untuk memutuskan. Disaat teman-teman sebaya begitu takut dan waswas. Mereka kira saya seorang penakut dan pecundang. Tak punya hasrat, apalagi nyali! Namun, mereka semua tercengang! Terkejut atas keputusanku. Sama terkejutnya dengan orang tua saya. Andai Anda tahu saat itu, pastilah sama kagetnya. Aku pun sebenarnya tak habis pikir, kok bisa?! Namun itulah episode hidup. Dia lah yang menentukan, bukan saya, Anda atau mereka.

Secara finansial, oh sangat jauh! Apalagi status saya masih mahasiswa. Tahulah mahasiswa seperti apa. Ia belum mapan tentunya. Belum punya penghasilan, masa depan belum jelas –kata ortu yang kurang bijak—dan hidup pun kadang masih mengandalkan uluran tangan orang lain. Begitulah nasib mahasiswa yang masih saja dipandang sebelah mata. Mereka hanya segera ingin melihat hasil. Mereka sama sekali tidak mau peduli proses –bahkan perjuangan ke arah kesuksesan. Apalagi mendukung, membantu bahkan menopang. Semua hanya fatamorgana. Ya fatamorgana!

Namun, saya ditakdirkan menikah lebih cepat di banding kawan-kawan. Begitulah Sang Pencipta mencurahkan kasih terhadap hambanya. Kasih tercurah tiada tara. Begitu saya rasakan saat ini, tentunya setelah menikah. Rasa tentram menyelimuti kalbu. Gelora cinta terengkuh sudah. Syahwat tercipta menjelma ibadah. Frame peradaban menemui episode kedua. Tinggal separoh agama yang masih terbentang. Karena saya didepan ortu permaisuri pendamping hidup telah berikrar lantang. Betapa Mahakasih ya Allah, rasa syukur, tahmid dan takbir tak henti-hentinya basahi bibir. Alhamdulillaahir robbil 'aalamiin.***

Comments

Popular posts from this blog

Menyambut Si Lembut nan Jelita

Modul Jurnalistik: Mulai Menerjemah

Modul Jurnalistik: Prinsip Bahasa Jurnalistik