Nasi Goreng Bumbu Cinta, Cendramata Haji

“Jangan punya isteri seperti aku, nggak bisa masak!, pokoknya rugi punya isteri wanita karir!”. Itulah ungkapan tulus Dr. Rustika kepada saya saat tugas melayani dluyuufurrahmaan (tamu-tamu Allah) di Mekkah al Mukarrmah Januari 2006 yang lalu. Ketulusannya bisa saya lihat dari raut mukanya yang penuh dengan penyesalan. Saya memekik, “Setuju!”, dalam hati tentunya. Takut menyinggung perasannya. Saat itu juga saya pasang kriteria, “Calon isteri kudu bisa masak!”.
  
Mungkin oleh sebagian calon ummahat memasak bukan hal pokok dan penting. Fenomena ini terlihat jelas dari setumpuk aktivitas mereka. Berkutat dengan diktat-diktat tebal, diskusi, mentoring, demo atau bahkan panjat tebing. Sama sekali tidak ada waktu tersisa untuk sekadar belajar menanak nasi, misalnya. Mereka berdalih, “Ah, urusan masak nanti kan ada pembantu” atau “Beli aja makanan jadi, beres deh!”.
  
Saya pun lalu teringat kisah yang diceritakan Miranda Risang Ayu dalam bukunya Cahaya Rumah Kita: Renungan Batin Seorang Ibu Muda tentang Anak, Wanita dan Keluarga (Mizan, Agustus 1997). Betapa ibu muda dari Bandung yang aktif menulis ini pernah merasa kikuk dan kaget ketika harus memasak sendiri. Ternyata memasak yang kelihatan sepele, membutuhkan kepekaan rasa tersendiri yang harus terasah oleh pengalaman dan kebiasaan. Seperti pengalamannya sendiri, ia merasa betul-betul bodoh dan tidak percaya diri untuk menjadi perempuan saat-saat pertama memasuki dunia rumah tangga.
  
“Berbanding berbalik dengan prestasi saya di bangku sekolah dan organisasi. Setelah menikah, prestasi saya mengurusi rumah dan anak-anak pasti membuat Anda tertawa. Setengah tahun saya tinggal sendirian dalam sebuah kontrakan di Kanayakan Bawah. Panci saya beberapa kali gosong hanya karena saya sama sekali tidak tahu waktu yang dibutuhkan untuk menggelegakkan sepanci air. Saya pernah menggorang nasi dengan minyak sebanyak untuk menggorang ayam, dan berkeringat dingin hanya karena harus memasak semangkuk beras,” tulis Miranda.
  
Kejadian-kejadian itu tak perlu terjadi, bila para calon ummahat memahami sedari dini bahwa keterampilan-keterampilan teknis mengurus rumah tangga perlu dikuasai. Walaupun Anda merasa sebagai orang modern, jangan sekali-kali merasa tidak perlu menguasai keterampilan-keterampilan rumah tangga seperti memasak, menjahit, mencuci, maupun menyetrika. Karena sesungguhnya keterampilan-keterampilan itu turut berperan dalam membentuk karakter feminim dalam kepribadian Anda sebagai seorang wanita.
  
Jika para akhwat dan ummahat terampil melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, kepekaan perasaan bisa tetap terjaga. Juga kepekaan terhadap kebersihan lingkungan. Tumbuhlah pula cita rasa keindahannya. Kelembutan tangan dan kelincahan motorik halus jemari tangan mereka pun akan tetap terjaga. Dan pada akhirnya,  semua itu akan membantu menghaluskan kejiwaan mereka, menumbuhkan kesabaran dan ketelatenannya. Kepribadian yang halus dan lembut seperti ini akan menyeimbangkan kemandirian, kepandaian dan kemampuan rasio yang tidak mereka dapatkan dari sekolah-sekolah formal yang ada.
  
Betapapun, sang suami amat bangga bila sang isteri piawai memasak. Layaknya seorang salesman ia akan berpromosi atas kelezatan masakan isterinya. Bahkan bila perlu ia undang semua kolega sekadar untuk mencicipi. Betapa, secara psikilologis seorang isteri akan bangga dan puas bila masakannya mendapat pujian dan laris manis tanpa sisa. Ia pun akan terus terpacu bahwa ia layak disebut ibu rumah tangga.

Bapak mertua saya yang akrab dipanggil “Abah” tidak mau makan kecuali masakan Mamah, isterinya. Sungguh beruntung isteri yang senantiasa dinanti masakannya. Saya pun selalu menderu rindu nasi goreng hasil cipta isteriku yang saat ditanya, “Apa resepnya hingga bisa selezat ini?” dengan senyum manis ia menjawab, “Bumbu Cinta!”. Akhirnya saya pun memberinya laqob (label), “Nasi Goreng Bumbu Cinta”. ***

Comments

Popular posts from this blog

Menyambut Si Lembut nan Jelita

Modul Jurnalistik: Mulai Menerjemah

Modul Jurnalistik: Prinsip Bahasa Jurnalistik