MEMANGKU SANG IBU

Kami tiba di rumah sekitar pukul sebelas  pagi. Kembali Abi membopong tubuh ringkih tak berdaya ke kamar tidur. Tempat mereka memadu kasih, bercinta dan menumpah segala rasa. Lama Abi menatap lekat sang Ibu, begitulah anak-anak dan wali murid memanggil istrinya dengan sebutan "Ibu".

Abi dengan setia memijat-mijat tangan dan kaki ibu. Pijatan syarat makna penuh getaran cinta. Persendian ibu setahap demi setahap mulai lunak dan fresh. Ia tersadar. Matanya mulai membuka mencari-cari sebuah titik. Titik harapan dan asa. Titik itu ketemu ia pun tersenyum tentram. Sang Abi lega dan tersenyum mesra.

"Umi udah sholat Dzuhur?"
Abi lebih senang memanggil istrinya seperti itu. Umi pasrah, lelah dan lemah. Ia tak kuasa bangkit. Sekadar minum pun Abi mesti membantunya agar bisa duduk. Dengan canda tawa Abi menawarkan diri memangku Umi kekamar mandi. Awalnya Umi menolak. Malu dilihat orang ungkapnya. Namun Abi gencar memberondongnya dengan rayuan-rayuan maut memikat.

Umi angkat tangan. Nyerah. Tak sanggup menolak kebaikan Abi.
"Naik Mi, ke punggung Abi"

Umi melingkarkan kedua tangannya. Sepasang anak Adam yang baru diikat tali suci terlihat menyatu. Mesra menderu. Orang pun iri melihatnya. Istilah susah senang bersama memang tepat buat mereka.

Comments

Popular posts from this blog

Menyambut Si Lembut nan Jelita

Modul Jurnalistik: Mulai Menerjemah

Modul Jurnalistik: Prinsip Bahasa Jurnalistik