Ibu : Tak Kenal Lelah, Penuturan seseorang yang begitu rindu dengan seorang ibu

Diusiamu yang ke 51, engkau tetap gigih menopang ekonomi keluarga. Roda zaman rasanya tak mampu membendung sang pejuang sejati, ibu. Walau kini saya telah terpisah jauh, amat jauh. Namun, engkau tak henti-hentinya menimang dan menimangku. Walau kini aku telah melepas masa bujang, namun engkau tetap memberi payung-payung kasih dan sayang. Dua puluhan tahun lebih usiaku kini, selama itu pula engkau curahkan cinta. Cinta yang tak lekang ditelan waktu, cinta yang tak pernah putus dihadang teritorial, cinta yang tulus, dan pamrih sedikitpun tidak ada di benakmu. Ya, itulah cinta sejati. Cinta seorang ibu terhadap anaknya. Cinta paling mulia sepanjang sejarah kemanusiaan.

Pagi-pagi buta, engkau telah melesat menembus dingin, gemuruh pasar dan hiruk pikuk manusia-manusia pagi. Sebelum adzan shubuh berkumandang engkau telah sampai di rumah. Shalat shubuh, tak lupa membangunkan adikku –termasuk saya, bila belum bangun—untuk sama-sama shalat shubuh. Barulah engkau bisa istirahat, walau sekejap. Bisa Anda bayangkan, seharian ia banting tulang, peras keringat, tak kenal lelah, apalagi pasrah.

Pukul delapan pagi, engkau mesti kembali ke pasar mengambil hasil dagangan. Jam sepuluh pagi –terkadang jam sebelas pagi—baru sampai di rumah. Tiba dari pasar, langsung mencuci ayam dan jeroan ayam hingga adzan dhuhur bergema. Lepas dhuhur, engkau kembali sibuk di dapur mencipta jajanan untuk di jaja pada pukul 13.00 buat anak-anak TPA yang mengaji di mushola belakang rumah.  Hingga pukul 14.00 engkau berjualan, lumayan buat beli beras, ucapmu lirih. Kalau hanya warung "Kalua Jeruk" gak bisa diandalkan, paling hari libur (hari sabtu, minggu atau hari libur lain), itupun kalau ada yang beli. Ucapnya lebih lanjut. Mulai siang hingga larut malam –kadang hingga dini hari—engkau berjibaku dengan sang adonan dan dedaunan.

Saya turut merasakan pahit-getir kehidupan keluarga saat pulang dari luar negeri. Empat tahun lebih saya menimba ilmu di negeri sebrang. Saya tidak menyangka, betapa berat perjuangan ibu di tanah air. Sempat saya enggan kembali ke Sebrang. Saya ingin membantu ibu. "Saya tak boleh tinggal diam! Pekikku saat itu. Ya, sudah saatnya saya menanggung beban berat ini. Namun, ibu tetap menyuruh saya kembali kuliah. "Peupeurihan nu lain teu bisa sakola" , begitu ungkapnya suatu hari.

Memang, sayalah satu-satunya yang sekolah di keluarga. Itupun karena saya dapat beasiswa dan dapat kuliah di negeri orang. Saya adalah harapan keluarga. Tumpuan masa depan. Alangkah berat amanah ini. Ya, cukup berat. Amanah itu kini bertambah. Saya telah di karuniai seorang isteri shalehah, pendamping sejati. Tanggung jawab semakin bertambah. Seiring dengan itu, keberadaan saya semakin diharapkan dan dirasakan di tengah keluarga. Berjuanglah! Allahu Akbar!

Lambat laun saya merasa bangga. Bangga, ya bangga!. Karena ternyata tanpa terasa kini saya semakin dewasa. Betul kata orang, suatu kebaikan mesti dipaksa. Mungkin Anda pernah mengalami, dikejar anjing, terus tanpa sadar melompat pagar tinggi. Kok bisa ya! Padahal pagar tersebut amat tinggi. Ya, keadaan takut yang membuat Anda bisa melompat setinggi itu. Begitupun saya –yang kata orang saya orangnya imut—bisa berubah drastis, melejit, melampaui teman-teman sebaya. Tanggung jawab keluarga lah yang membuat saya melejit dewasa.

Tersadar. Ya, saya tersadar! Betapa saya selama ini telah terlena. Betapa saya selama ini amat rapuh. Betapa saya selama ini begitu tidak peduli. Betapa saya, betapa saya... dan seterusnya. Kini saya mulai merajut kembali benang-benang tak karuan juntrungnya. Menata kisi-kisi hidup yang terlena. Oh, Maha Kasih Engkau ya Rob! Banyak jalan Engkau bentangkan pada hamba-hamba-Mu. Empat tahun. Ya, empat tahun saya sibuk. Empat tahun pula saya terlena. Saya telah melupakanmu, oh ibu, maafkan anakmu. Saya kini tahu, betapa engkau adalah segalanya bagiku.

Nasehat-nasehatmu –saat saya berada disisimu—terus terngiang kini. Realitas yang engkau ungkapkan syarat makna agar saya tegar melalui belantara hidup. Saat engkau meneteskan air mata, saya merasa paling bersalah. Saat engkau melontarkan petuah, saya merasa paling bodoh dan dunggu. Saat engkau melangkah penuh keyakinan, saya masih tertatih-tatih. Kala engkau bekerja, saya malu, tak berguna, tak berdaya, ah saya semakin terpojok.

Tiga puluh hari (terhitung mulai tiba di bandara Soekarno-Hatta) saya di tanah air. Selama itu, saya banyak belajar arti sebuah pengorbanan. Ibu, terutama. Saya banyak belajar darinya. Saya –yang sekolah diluar negeri—begitu bodoh di depan sosok ibu –yang hanya mengecap SR--. Betapa beliau lebih tahu filosofi perjuangan dan pengorbanan.

Tak kenal lelah, itulah kata terakhir yang saya dapat dari sosok ibu yang kembali saya tinggal untuk sekian tahun (entah berapa tahun) lamanya. Kata itu akan saya patri dalam hati. Akan saya tulis dalam agenda. Kata yang saya jadikan spirit perjuangan. Kata yang akan senantiasa menghiasi warna kehidupan saya. Slogan hidup yang melegenda. Akan saya ajarkan hingga anak-cucu. Agar mereka tahu, bahwa mereka orang-orang pilihan yang memiliki sosok nenek maha tangguh. Sosok nenek yang punya filosofi hidup. Sosok nenek yang tak kenal lelah. Mereka mesti menjelma menjadi generasi tangguh, tak kenal lelah, apalagi pasrah.***

Comments

Popular posts from this blog

Menyambut Si Lembut nan Jelita

Modul Jurnalistik: Mulai Menerjemah

Modul Jurnalistik: Prinsip Bahasa Jurnalistik